Www.acehiklan.con-Banda Aceh, 8 Agustus 2025 – Dalam rangka memperingati 20 tahun perdamaian Aceh, Aceh Bergerak bersama Koalisi NGO HAM Aceh dan KontraS Aceh menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Perdamaian dalam Amatan Lensa”. Rangkaian kegiatan ini mencakup doa bersama, pemutaran film dokumenter, dan diskusi publik, yang dimaksudkan sebagai ruang refleksi bersama atas perjalanan panjang perdamaian di Tanah Rencong.
Rangkaian kegiatan pemutaran dan diskusi film akan dimulai (kick off) pada Sabtu, 9 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB dengan pemutaran film Badë Tan Reûda di Sekretariat Aceh Bergerak, Lambhuk, Banda Aceh.
Program Manager, Mirisa, menjelaskan bahwa pemutaran film dijadikan sebagai media utama karena diyakini mampu memperteguh komitmen individu dan kolektif dalam menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. “Film dokumenter khususnya, disebut sebagai ‘bahasa kedua’ yang dapat menyimpan memori sosial dan sejarah suatu bangsa. Ibarat sebuah keluarga tanpa album foto, bangsa yang kehilangan dokumentasi visual sejarahnya juga kehilangan ingatan akan dirinya sendiri,” jelas Mirisa atau yang biasa dipanggil Icha.
Dia juga menambahkan bahwa peringatan dua dekade perdamaian bukan hanya momen simbolik, melainkan panggilan untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. “Perjuangan mempertahankan hak untuk hidup menjadi tantangan berat saat ini, di tengah realitas di mana nyawa manusia bisa hilang karena kerakusan kekuasaan,” tegasnya.
Selain itu, perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan harus terus dilakukan oleh setiap insan yang mengaku memiliki kebudayaan dan peradaban, tidak berbatas suku, jenis kelamin, agama, ras dan bangsa dan tanpa mengenal batasan waktu. Penghormatan terhadap hak untuk hidup, salah satu dari nilai kemanusiaan tersebut, yang kini semakin sulit untuk dipertahankan. Dengan mudahnya nyawa manusia melayang tanpa sebab musabab yang jelas, lantaran nafsu dan angkara murka suatu golongan yang sedang diberi “pinjaman” kekuasaan untuk mengurus suatu negara atau wilayah.
KontraS Aceh, Azharul Husna, menambahkan bahwa pemutaran film-film ini diniscayakan untuk menghadirkan ruang-ruang diskusi dan sarana belajar untuk memperteguh komitmen bersama terhadap penegakan nilai-nilai HAM. “Pemutaran film-film ini adalah media belajar sejarah selain juga diharapkan menjadi sarana kolaborasi untuk menatap masa depan yang memuliakan manusia”, tambah Azharul Husna.
Film-film yang ditayangkan merupakan produksi tahun 1999 hingga 2025, yang merekam berbagai narasi lokal, konflik, trauma, hingga harapan di masa transisi Aceh. Beberapa di antaranya adalah Badë Tan Reûda, Kameng Gampong Nyang Keunong Geulawa, Pena-Pena Patah, dan Abrakadabra!, yang sebelumnya telah diputar di berbagai forum di Yogyakarta melalui dukungan komunitas seni Bungong Society.
Bungong Society adalah organisasi yang percaya pada keadilan sosial dan demokrasi yang dapat menjamin kemanusiaan dan perdamaian terpelihara. Didirikan oleh mahasiswi-mahasiswa asal Aceh pada 12 Agustus 2003 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bungong Society bergerak di lapangan kesenian dan kebudayaan dengan basis kesadaran multikulturalis yang terlibat dalam gerakan kebudayaan demi mendorong tumbuhnya masyarakat terbuka serta menguatkan masyarakat sipil beserta nilai-nilai kemanusiaan dan jalan-jalan perdamaian untuk Aceh khususnya dan umat manusia keseluruhan. Gerakan kebudayaan yang dilakukan Bungong Society tersebut adalah demi menuju pemuliaan manusia, kemanusiaan, dan kehidupan.
*LAMPIRAN - JUDUL FILM DAN SINOPSIS*
1. Badë Tan Reûda, Lexy J. Rambadeta, Yayasan TIFA, 2003, 23 menit
Tak henti air mata Sa'diah mengalir. Duka dirasakan perempuan korban konflik Aceh itu saat mengenang kematian suami tercinta. Dalam penuturannya, kejadian mengenaskan dan tak terlupakan seumur hidup terjadi pada 1998 lampau. Suami Sa'diah terbunuh dan rumahnya hancur oleh TNI pada masa berlakunya DOM di Bireuen. Sa'diah merasakan hidup yang dilaluinya cukup berat. Bertahan mencari nafkah demi menghidupi tiga anaknya: dua laki-laki dan satu anak perempuan. Suka duka yang dialami Sa'diah dirasakan pula oleh banyak perempuan di Aceh, sebagaimana tertangkap oleh layar film ini.
Informasi Pemutaran: Aceh Bergerak, Jl. Dr. Syarief Thayeb Lr. Kemiri No. 27, Lambhuk; Sabtu, 9 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB s.d. selesai
2. Peace Generation, Davi Abdullah, Nova Misdayanti, 2025, 45 menit
Kisah orang Aceh yang lahir dari rahim perjuangan—mereka eks kombatan GAM, tapol-napol, dan korban sipil—memilih jalan damai di tengah warisan luka dan bayang-bayang perang. Meski dibesarkan dengan narasi perjuangan dan trauma, mereka menolak mewarisi dendam, dan justru menemukan ruang rekonsiliasi yang memulihkan serta mendapatkan cita cita di ruang reintegrasi.
Informasi Pemutaran: Aceh Bergerak, Jl. Dr. Syarief Thayeb Lr. Kemiri No. 27, Lambhuk; Jumat, 15 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB s.d. selesai
3. Pena-Pena Patah, Fozan-Sarjev, Koalisi NGO HAM, 2002, 24 menit
Penderitaan di Aceh mengalir tak kering pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang diterapkan semasa pemerintahan pimpinan Jenderal Soeharto yang bernama Orde Baru. Tak hanya masyarakat yang terseret menjadi korban kekerasan. Dunia pendidikan pun merana. Hancur dan menyisakan sederet generasi tanpa masa depan, tanpa harapan. Aksi pembakaran sekolah yang berlangsung sejak 1999-2002 yang terekam jelas dalam film ini menjadi peristiwa terburuk bagi masyarakat pendidikan yang terlepas dari konflik. Anak-anak belajar dalam kondisi memprihatinkan, dalam kelas penuh sesak atau bahkan duduk di lantai sambil menulis adalah gambaran proses belajar-mengajar yang lumrah dalam amuk bersenjata. Sebagian kawan-kawannya ada yang tak bersekolah lagi karena terpaksa ikut mengungsi bersama orang tuanya. Sedang yang lain, ditampung di rumah-rumah singgah supaya tetap bisa melanjutkan sekolah. Pun film yang intinya mengisahkan seorang anak yang terpisah jauh dari kawan-kawan sekolahnya dan menulis semua kenangan serta kesaksiannya menangkap hasrat bahwa di samping pertikaian harus segera diakhiri atau memang takkan pernah selesai, mereka tetap ingin sekolah.
Informasi Pemutaran: Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I, Jl. TWK. Hasyim Banta Muda No. 17, Kampung Mulia; Minggu, 10 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB s.d. selesai
4. Menjaring Nasib, Deddi Iswanto Ibrahim, Koalisi NGO HAM Aceh, 2009, 29 menit
Sebuah film tentang keluh kesah para korban konflik, kesaksian, dan harapan-harapan mereka pada pemerintah dan para pihak setelah hampir lima tahun perdamaian di Aceh. Keluh kesah dan testimoni yang tertangkap kamera tidak untuk mengungkit luka apalagi kehendak balas dendam. Juga, tidak bermaksud untuk mendiskreditkan para pihak. Film ini justru mengharapkan keseriusan para pihak menyangkut nasib korban.
Informasi Pemutaran: Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I, Jl. TWK. Hasyim Banta Muda No. 17, Kampung Mulia; Senin, 11 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB s.d. selesai
5. Abrakadabra!, Aryo Danusiri, Yayasan TIFA, 2003, 42 menit
Jenewa, Swis, 9 Desember 2002. Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) ditandatangani. Pemerintah RI dan GAM mulai berusaha membangun kepercayaan dalam damai. Masyarakat antusias memanjatkan syukur lewat sujud. Kehidupan mulai menggeliat di Aceh. Warung kopi ramai semalam suntuk. Pagelaran kesenian menyedot ribuan penonton. Pantai dan taman rekreasi pun meruah kembali. Juga pasar-pasar kampung yang pernah mati, mulai semarak. Masyarakat Aceh menemukan apa yang lama menghilang; sebuah ruang di mana kemanusiaan hadir dalam hidup yang wajar. Saiful, pedagang obat kaki lima keliling, berbenah menyusuri jalan-jalan yang lapang dan bebas. Kontak senjata dan pemeriksaan mendadak, menurun intensitasnya. Ia kembali mempertontonkan aksi sulap-akrobatik yang mengundang decak kagum para pembeli walaupun disana-sini masih terjadi demonstrasi rakyat, mogok makan mahasiswa bahkan kriminalitas di kawasan “zona damai”. Saiful tetap berkeliling, berjualan sambil bermain sulap. Tapi tiba-tiba, dini hari 19 Mei 2003, Darurat Militer untuk Aceh ditetapkan dari Jakarta.
Informasi Pemutaran: Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I, Jl. TWK. Hasyim Banta Muda No. 17, Kampung Mulia; Selasa, 12 Agustus 2025, pukul 16.10 WIB s.d. selesai
6. Kameng Gampong Yang Keuneng Geulawa, Aryo Danusiri, ELSAM, 1999, 47 menit
“Kameng glee nyang pajoh jagung, kameng gampong nyang keunong geulawa”, kambing gunung yang makan jagung, namun kambing kampung yang kena pukul. Analogi inilah yang digunakan untuk menceritakan tragedi yang menimpa masyarakat di Kecamatan Tiro, Kabupaten Aceh Pidie, pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer medio 1998 lalu. Kontak senjata antara TNI/Polri dan GAM bisa saja terjadi di kecamatan lain, namun sweeping yang biasanya diakhiri dengan extra judicial killing, summary execution, atau torture terhadap masyarakat sipil yang dituduh GAM atau bersimpati terhadap GAM, pasti tertuju kepada masyarakat di Kecamatan Tiro. Nama sebuah daerah yang sama dengan nama belakang tokoh GAM, Hasan Muhammad Tiro.
Informasi Pemutaran: KontraS Aceh, Jl. Mujur No. 98A, Lamlagang; Sabtu, 16 Agustus 2025, pukul 20.00 WIB s.d. selesai
7. Born in Aceh, Ariani Djalal, Yayasan TIFA, 2003, 19 menit
Film ini mengisahkan tentang testimoni anak-anak yatim korban DOM, terutama yang orang tuanya menjadi korban penyiksaan aparat Kopassus di Pos Sattis Bilie Aron (Rumoh Geudong), Kabupaten Pidie. Hidup tanpa orang tua menjadi tidak mudah bagi mereka, terutama ketika status yatim mengakibatkan mereka tidak mampu melanjutkan sekolah karena ketiadaan biaya. Born in Aceh juga memotret kasus pembakaran sekolah yang dilakukan secara masif di awal penerapan Darurat Militer. Pada hari ketiga DM, tepatnya 22 Mei 2003, tercatat 248 sekolah terbakar. Yakni: 108 sekolah di Aceh Pidie, 99 sekolah di Bireuen, 28 sekolah di Aceh Besar, 9 sekolah di Aceh Timur, 2 sekolah di Aceh Jaya, 1 sekolah di Aceh Tamiang, serta 1 sekolah Banda Aceh. Shock theraphy dalam bentuk pembakaran sekolah, menjadi bagian dari lingkaran dehumanisasi dan structural violence yang terus diproduksi Indonesia dalam rangka menumpas gerakan pemisahan diri, namun dialamatkan kepada obyek yang salah: innocent civilians. Kebodohan, trauma psikologis, kemampuan kognitif dan bernalar yang sulit berkembang, bahkan malnutrisi, adalah harga mahal yang kemudian harus dibayar generasi muda yang lahir di Aceh...
Informasi Pemutaran: KontraS Aceh, Jl. Mujur No. 98A, Lamlagang; Minggu, 17 Agustus 2025, pukul 20.00 WIB s.d. selesai (*)
0 Komentar